PENGAWASAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengawasan

2.1.1 Pengertian Pengawasan

Hakekat pelakasanaan Otonomi Daerah yaitu pemberdayaan daerah serta mengurus rumah tangga sendiri. Penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan memerlukan pengawasan yang ketat, agar dapat berdaya guna dan berhasil guna. Peranan pengawasan dibangun dalam kerangka Negara kesatuan, berdasarkan pemahaman tersebut maka pengawasan terhadap Pemerintah Daerah merupakan bagian integral dari sistem pengawasan nasional.

Pengawasan harus disadari oleh semua pihak, baik yang mengawasi dan oleh yang diawasi maupun oleh masyarakat umum. Lebih tegasnya lagi pengawasan merupakan salah satu unsure penting dalam rangka peningkatan perdayagunaan aparatur Negara dalam pelaksanaan tugas-tugas umum Pemerintahan yang bersih dan wibawa.

Secara umum yang dimaksud dengan pengawasan adalah segala kegiatan dan tindakan untuk menjamin peyelenggaraan suatu kegiatan yang tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah digariskan.

Menurut Keputusan Presiden No.74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggraan Pemerintah Daerah, menyatakan bahwa:

“Pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan dengan rencana dan ketentuan perturan perundang-undangan yang berlaku”.

Sedangkan menurut Sujamto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Pengertian di bidang Pengawasan”, pengertian dari pengawasan adalah sebagai berikut:

“Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui atau menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak”. (Sujamto, 1986:19)

Definisi lain menurut Revrisond Baswir dalam bukunya “Akuntansi Pemerintahan Indonesia”, mengemukakan bahwa:

”Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan suatu pekerjaan atau kegiatan itu dilakukan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan”. (Revrisond Baswir, 1999:118)

Pengawasan merupakan bagian dari fungsi menajemen. Fungsi manajemen meliputi Planning, Organizing, Staffing, Leading and Controlling. Hal-hal yang dicakup dalam fungsi Controling dengan standar, melakukan perbaikan atas devinisi atau penyimpangan, merevisi dan menyesuaikan metode pengendalian dari kacamata hasil pengendalian dan perubahan kondisi, dan mengkonsumsi revisi dan penyesuaian tersebut ke seluruh proses pengawasan.

Dari hal tersebut di atas jelas bahwa penekanan dari pengawasan lebih pada upaya untuk mengenali penyimpangan atau hambatan di dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Bila ternyata kemudian ditemukan adanya penyimpangan atau hambatan diharapkan agar dapat segera dideteksi atau diambil tindakan koreksi sehingga pelaksanaan kegiatan yang bersangkutan diharapkan masih dapat mencapai tujuannya secara maksimal.

2.1.2 Jenis-Jenis Pengawasan

Pengawasan keuangan Negara dan daerah menurut Abdul Halim dalam bukunya “Manajemen Keuangan Daerah” adalah sebagai berikut:

“Pengawasan keuangan Negara dan daerah berdasarkan ruang lingkupnya dibedakan menurut jenis yaitu Pengawasan Intern dan Pengawasan Ekstern”. (Abdul Halim, 2004)

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan definisi empat jenis pengawasan yaitu Pengawasan Melekat, Pengawasan Fungsional, Pengawasan Legislatif, Pengawasan Masyarakat.

Adapun pengertian setiap jenis pengawasan tersebut menurut PP Nomor 20 Tahun 2001 adalah:

1. Pengawasan Melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif dan represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pengawasan Fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern Pemerintahan yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pengawasan Legislatif adalah pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Perwakilan Rakyat terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan.

4. Pengawasan Masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang disampaikan secara lisan atau tulisan kepada aparatur pemerintah yang berkepentingan, berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan atau keluhan/pengaduan yang bersifat membangun yang dissampaikan baik secara langsung maupun melalui media.

Sedangkan menurut Baldric Siregar dan Bonni Siregar (2000:350) dalam bukunya yang berjudul “Akuntansi Pemerintahan dengan Sistem Dana”, menjelaskan bahwa jenis-jenis pengawasan keuangan Negara dapat dibedakan berdasarkan :

1. Sifat Pengawasan

2. Hubungan aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi

3. Metode pengawasan

Adapun penjelasan dari hal di atas menurut Baldric Siregar dan Bonni Siregar adalah sebagai berikut:

1. Sifat Pengawasan

–          Pengawasan Preventif

Pengawasan Preventif adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara sebelum  tindakan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan preventif ialah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan pengelolaan keuangan Negara.

–          Pengawasan Represif

Pengawasan Represif merupakan pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan terhadap tindakan pengelolaan keuangan Negara setelah tindakan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan represif adalah untuk mengidentifikasi apakah terjadi penyimpangan, tindakan koreksi yang dibutuhkan dan rekomendasi perbaikan dalam pengelolaan keuangan Negara. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan membandingkan tindakan pengelolaan keuangan negara yang telah dilakukan dengan ketentuan pengelolaan keuangan negara.

2. Hubungan aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi

–          Pengawasan Eksternal

Pengawasan Eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau orang yang berasal dari unit organisasi lain selain unit organisasi yang diperiksa. Hubungan antar aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi adalah keuanya tidak berbeda dalam satu unit organisasi yang sama.

–          Pengawasan Intern

Pengawasan Intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau orang yang ada di lingkungan unit organisasi yang diperiksa. Hubungan antar aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi adalah keduanya berada dalam satu unit organisasi yang sama.

3. Metode Pengawasan

–          Pengawasan Melekat

Pengawasan Melekat merupakan pengawasan oleh pimpinan yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan pelaksanaan aktivitas bawahannya.

–          Pengawasan Fungsional

Pengawasan Fungsional adalah pengawasan oleh aparatur fungsional yang dilakukan oleh instansi yang independent dari unsure yang diawasi.

(Baldrec Siregar dan Bonni Siregar,2000:350)

2.2 Pengawasan Fungsional

2.2.1 Pengertian Pengawasan Fungsional

Menurut Sujamto pengertian pengawasan fungsional dalam bukunya “Beberapa Pengertian di bidang Pengawasan”,yaitu:

“Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk membantu pimpinan (manajer) dalam menjalankan fungsi pengawasan di lingkunagan organisasi yang menjadi tanggung jawabnya. Aparat-aparatnya dinamakan aparat pengawasan fungsional”. (Sujamto, 1986:34)

Definisi lain dari pengawasan fungsional yang dikemukakan oleh Revrisond Baswir dalam bukunya “Akuntansi Pemerintahan Indonesia” menyatakan bahwa:

“Pengawasan Fungsional adalah pengawasan yang  dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional, baik yang berasal dari lingkungan internal pemerintah maupun yang berasal dari lingkungan eksteral pemerintah”. (Revrisond Baswir,1999:137)

Sedangkan yang dimaksud pengawasan fungsional yang tersirat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pasal 1 adalah:

“Pengawasan Fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan/Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian”.

Dalam hal ini yang melakukan pengawasan adalah Badan Pengawasan Daerah (Bawasda).

Penjelasan dari pengertian di atas adalah sebagai berikut.

a. Pemeriksaan adalah salah satu bentuk kegiatan pengawasan fungsional yang dilakukan dengan cara membandingkan antar peraturan/rencana/program dengan kondisi dan atau kenyataan yang ada.

b. Pengujian adalah suatu kegiatan pengawasan fungsional yang dilakukan dengancara meneliti kebenaran, mutu, jumlah, dokumen dan atau barang dan criteria yang ditetapkan.

c. Pengusutan adalah salah satu kegiatan pengawasan fungsional dalam mencari bahan-bahan bukti adanya dugaan terjadinya tindak pidana.

  1. Penilaian adalah salah satu kegiatan pengawasan fungsional untuk menetapkan tingkat keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.

Kebijakan-kebijakan tentang Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) terdapat dalam:

  1. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
  2. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
  3. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
  4. Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daera.
  5. Keputusan Presiden No.74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
  6. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 17 Tahun 2001 tentang Pelimpahan Pengawasan Fungsional Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Gubernur.
  7. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 70 Tahun 2002 tentang Pedoman Operasional Audit Badan Pengawasan Daerah Provinsi Jawa Barat.

Dari definisi-definisi di atas dapat diambil satu kesimpulan mengenai pengawasan fungsional, yaitu:

  1. Pengawasan keuangan dilaksanakan berdasarkan perundang-undangan yng berlaku.
  2. Pelaksanaan pengawasan fungsional diarahkan untuk menjamin terlaksananya tugas umum dan pembangunan pemerintahan.
  3. Pengawasan fungsional dilaksanakan oleh aparat pemerintah baik secara intern maupun ekstern sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Pengawasan fungsional dimaksudkan untuk mencegah tumbuhnya berbagai macam bentuk penyimpangan dari pelaksanaan anggaran.
  5. Pengawasan fungsional di Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  6. Pengawasan fungsional ditujukan untuk menjamin sasaran pembangunan yang berdaya guna dan berhasil guna.

2.2.2 Tujuan Pengawasan Fungsional

Pengawasan merupakan salah satu unsur penting dalam rangka peningkatan pendayagunaan aparatur Negara dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Tujuan Pengawasan di dalam situs pemerintahan Jawa Tengah dikatakan:

mewujudkan aparatur negara yang bersih, berwibawa dan bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), sedangkan sasaran pengawasan adalah memberantas KKN di lingkungan aparatur negara yang didukung dengan penegakan peraturan, peningkatan kinerja dan profesionalisme aparatur negara baik di Pusat maupun Daerah. (www.jateng.go.id)

Sedangkan menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 1983 tentang “Pedoman Pelaksanaan Pengawasan”, pasal 1 yaitu:

“Pengawasan bertujuan mendukung kelancaran dan ketepatan pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan”.

Secara umum tujuan pengawasan adalah untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku guna menciptakan aparatur pemerintahan yang Bersih, Bebas, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sedangkan secara khusus yaitu:

  1. Menilai ketaatan terhadap peratutan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Menilai kesesuaian dengan pedoman akuntansi yang berlaku;
  3. Menilai apakah kegiatan dilaksanakan secara ekonomis, efisien dan efektif;
  4. Mendeteksi adanya kecurangan.

Sesuai dengan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1989, tujuan pengawasan fungsional adalah sebagai berikut:

“Terciptanya kondisi yang mendukung kelancaran dan ketetapan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, kebijaksanaan, rencana dan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan dengan baik oleh aparat intern maupun ekstern pemerintah’.

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pengawasan fungsional adalah terlaksananya penyelanggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang bersih dan berwibawa dan pengelolaan keuangan secara ekonomis,efisien dan efektif secara mencegah penyimpangan-penyimpangan atau hambatan dalam pelaksanaan keuangan daerah.

2.2.3 Aparat Pengawasan Fungsional

Menurut Sujamto dalam bukunya “Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia’, pengertian aparat pengawasan fungsional yaitu:

“Aparat pengawasan fungsional yaitu Aparat/Instansi/Lembaga yang mempunyai tugas pokok untuk menyelenggarakan pengawasan terhadap objek dan sasaran tertentu”. (Sujamto,1996:24)

Aparat pengawasan fungsional dibentuk oleh Pemerintah. Hal ini terdapat dalam Instruksi Presiden No.15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, di mana aparat pengawasan fungsional dilakukan oleh:

    1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)”.

BPKP dengan tugasnya:

1. Merumuskan rencana dan program pelaksanaan pengawasan bagi seluruh aparat pengawasan fungsional pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

2. Melakukan koordinasi teknis pelaksanaan pengawasan yang diselenggarakan oleh aparat pengawasan fungsional di departemen, lembaga pemerintah non departemen dan instansi pemerintahan lainnya, baik pusat maupun daerah.

3. Melakukan sendiri pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan tugas dan fungsinya.

    1. Inspektor Jendral Departemen. Aparat Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen/Instansi Pemerintah lainnya yang melakukan pengawasan terhadap kegiatan umum Pemerintahan dan Pembangunan dalam lingkungan Departemen/Lembaga Pemerintah umum Non Departemen/Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
    2. Inspektorat Wilayah Propinsi yang melakukan pengawasan umum atas jalannya Pemerintahan Daerah, baik yang bersifat rutin maupun pembangunan.
    3. Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang melakukan pengawasan atas jalannya Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa di Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan, baik yang bersifat rutin maupun pembangunan.
    4. Inspektorat Jendral Pembangunan melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan sektoral, inpres bantuan desa maupun proyek-proyek daerah”.

(Muhammad Gade, 2000:74)

Lembaga pengawasan fungsional di Pemerintah Propinsi Jawa Barat dilakukan oleh:

1. Inspektur Jendral Departemen Dalam Negeri/Irjen Depdagri

Aparat pengawasan internal di lingkungan Departemen Dalam Negeri adalah Inspektorat Jendral Departemen sebagai penanggung jawab umum manajemen pemerintahan. Hasil pengawasan tersebut merupakan masalah bagi Pimpinan Departemen dan Satuan Kerja di Lingkungan Departemen untuk ditindak lanjuti guna meningkatkan kinerja untuk kerja bersangkutan.

Ruang lingkup pengawasan Inspektorat Jendral Departemen Dalam Negeri mencakup subtansi program dan administrasi manajemen pemerintahan. Subtansi program tersebut meliputi tugas pokok dan fungsi segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pelayanan. Sedangkan aspek administrasi yang menjadi objek pengawasan adalah pengelolaan sumber daya baik aparatur dan pelayanan public (dekonsestrasi dan tugas pembantuan) serta pengelolaan dan pertanggungjawabannya dalam rangka menunjang keberhasilan program (akuntabilitas).

2. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan Instansi pengawasan dan pemeriksaan keuangan dan pembangunan yang berbeda di lingkungan Pemerintahan. BPKP harus melaporkan pelaksanaan tugas fungsinya kepada Presiden. Laporan hasil pengawasan dan pemeriksaan BPKP disampaikan kepada menteri atau pejabat lain yang bersangkutan. Apabila laporan hasil pengawasan berkaitan dengan pemeriksaan keuangan, maka tembusan laporan tersebut disampaikan kepada Badan Pemeriksaan Keuangan(BPK). Apabila diperkirakan terdapat tindak pidanan korupsi, BPKP harus melaporkannya kepada Jaksa Agung.

Ruang lingkup pengawasan BPKP mencakup pengawasan kegiatan rutin pembangunan termasuk yang meliputi pemeriksaan tugas pokok dan fungsi, keuangan sarana dan prasarana, sumber daya manusia dan metode kerja.

Adapun tugas pokok dari BPKP menurut Keputusan Presiden No.31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, pasal 2 yang dikutip oleh Sujamto bukunya “Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia” (1996:19) adalah sebagai berikut:

a. Mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan

b. Menyelenggaraan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan.

c. Menyelenggarakan pengawasan pembangunan.

3. Badan Pemeriksaan Keuangan RI

BPK-RI adalah aparat pengawasan eksternal pemerintah yang keberadaannya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. BPK-RI melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Hasil pengawasan BPK-RI disampaikan kepada DPR melalui Laporan Hasil Pemeriksaan Semester (HAPSEM) untuk ditindak lanjuti pemerintahan.

Ruang lingkup pengawasan BPK-RI mencakup objek aspek keuangan baik aparatur maupun pelayanan publik.

4. Badan Pengawasan Daerah (BAWASDA) Provinsi

Bawasda Propinsi (Bawasda) merupakan instansi pengawasan yang berada di provinsi di bawah Gubernur, sesuai dengan PP No. 20 Tahun 2001. Badan ini Dapat melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dan melakukan pengawasan atas pelimpahan pengawasan oleh Pemerintah Pusat.

Dalam penyelenggaran tugasnya Bawasda Propoinsi Jawa Barat berpegang pada surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 60 Tahun 2001, tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Unit Badan Pengawasan Daerah Propinsi Jawa Barat.

Bawasda mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan teknis dan melaksanakan kewenangan di bidang pengawasan sesuai kebutuhan Daerah dan kewenangna lain yang limpahkan kepada Gubernur. (Pasal 2 ayat 2). Sedangkan fungsinya adalah:

  1. merumuskan kebijakan teknis pengawasan;
  2. pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Propinsi, dan pemerintahan Kabupaten/Kota, meliputi seluruh kewenangan Daerah dan kewenangan lain yang dilimpahkan kepada Gubernur.
  3. penyelenggaraan kesekretariatan Badan. (Pasal 2 ayat 3)

Badan Pengawasan Daerah Provinsi Jawa Barat, dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi diberikan kewenangan untuk:

  1. Pelaksanaan pengelolaan ketatausahaan badan;
  2. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan daerah;
  3. Pelaksanaan pemeriksaan terhadap tugas aparatur, keagrariaan, keuangan, pelengkapan dan peralatan Badan Usaha Daerah, Pembangunan, kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat;
  4. Pengujian dan penelitian atas kebenaran laporan perangkat daerah;
  5. Pengusutan mengenai kebenaran laporan atau pengaduan tentang hambatan, penyimpangan atau penyalahgunaan tugas-tugas perangkat daerah;
  6. Pembinaan tenaga fungsional pengawasan;
  7. Pembinaan dan pengendalian pelaksanaan proyek yang dilaksanakan oleh perangkat daerah.

Adapun sasaran pengawasan fungsional yang dilakukan oleh Baswasda menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 74 Tahun 2001, adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja aparatur Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kotamadya.

2.2.4 Daftar Materi Audit Pengawasan Fungsional

Pengawasan yang dilakukan Badan Pengawasan Daerah merupakan kategori Pengawasan Pemeriksaan Aparat Fungsional, yang terdiri dari dua kegiatan pemeriksaan, yaitu:

    1. Pemeriksaan Reguler dan
    2. Pemeriksaan Non Reguler atau disebut Penanganan Kasus dan Khusus

Berdasarkan Keputusan Bupati No. 70 Tahun 2002 tentang Daftar Materi Audit Badan Pengawasan Daerah Provinsi Jawa Barat yang dimaksud dengan Daftar Materi Audit (DMA) adalah sebagaian acuan dasar bagi auditor di lingkungan Badan Pengawasan Daerah Provinsi Jawa Barat di dalam melaksanakan audit pada perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat.

Daftar Materi Audit bertujuan untuk menjamin mutu koordinasi, perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan audit. Daftar Materi Audit juga bertujuan untuk mendorong efektifitas tindak lanjut temuan hasil audit serta konsistensinya penyajian laporan hasil audit yang bermanfaat bagi pemakainya.

Sasaran pemeriksaan regular didasarkan pada 4 aspek pemeriksaan, yaitu:

a. Aspek Tugas Pokok dan Fungsi;

b. Aspek Keuangan;

c. Aspek Sumber Daya Manusia;

d. Aspek Sarana dan Prasarana Serta

(Pemprop Jawa Barat, 2003)

Adapun penjelasan keempat aspek tersebut adalah sebagai berikut:

a.  Aspek Tugas Pokok dan Fungsi suatu Satuan Kerja (Satker) pada dasarnya merupakan penjabaran dari pada penyelenggaraan tugas umum dan penyelenggaraan pembangunan.

b. Aspek Sumber Daya Manusia bertujuan untuk mengetahui dan menilai pembinaan dan pendayagunaan sumber daya manusia serta pengelolaan tata usaha kepegawaian telah mempedomani ketentuan yang berlaku.

c. Aspek Keuangan Daerah bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh keyakinan yang memadai sejauhmana korelasi penyusunan RASK dan penggunaan DASK sebagai dasar pelaksanaan bagi pengguna anggaran telah dilaksanakan dengan tertib dengan berpedoman pada prinsip-prinsip anggaran kinerja.

d. Aspek sarana dan prasarana adalah pengelolaan rangkaian kegiatan dari fungsi-fungsi manajemen di bidang logistic yang secara sistematik siklus yang meliputi: perencanaan dan penentuan kebutuhan barang; pengadaan; penyimpanan dan pengeluaran; pemeliharaan; inventarisasi; perubahan status hokum; pemanfaatan; pengamanan; penatausahaan; dan TP-TGRPenatausahaan. (Bawasda Jabar, 2003)

2.2 APBD

2.3.1 Pengertian APBD

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan Pemerintahan dan Pelayanan Masyarakat. Misi utama kedua Undang-Undang tersebut bukan hanya keinginan untuk melimpahkan kewenangan pembiayaan dari Pemerintahan Pusat dan Daerah, tetapi yang lebih penting adalah peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.

Anggaran Daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatnya pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Adapun pengertian Anggaran menurut Abdul Halim dalam bukunya yang berjudul “Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah” adalah sebagai berikut:

Anggaran (Budget) adalah suatu rencana operasional yang dinyatakan dalam suatu uang dari suatu organisasi, dimana suatu pihak menggambarkan perkiraan pendapatan atau penerimaan guna menutupi pengeluaraan tersebut, untuk suatu periode tertentu yang umumnya satu tahun. (Abdul Halim,2002:158)

Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa anggaran merupakan suatu keuangan yang terdiri dari pendapatan dan pengeluaran dan dalam pelaksanaannya harus direncanakan dengan baik agar tercapai tujuan yang telah ditetapkan begitu pula dengan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Definisi APBD menurut Abdul Halim dalam bukunya “Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah” adalah sebagai berikut:

APBD merupakan rancana kegiatan Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan menunjukan adanya sumber pemerintahan yang merupakan target minimal dan biaya yang merupakan batas maksimal untuk suatu periode anggaran”.

(Abdul Halim,2002:24)

Sedangkan definisi APBD berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daearah, pasal satu adalah sebagai berikut:

“APBD adalah suatu rencana keuangan tahun daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daearah”.

Menurut Abdul Halim dalam buku ”Akuntansi Sekor Publik Akuntansi Keuangan Daerah “ APBD adalah suatu anggaran daearah yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

1. Rencana Kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.

2. Adanya sumber pemerintahan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubugan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang dilaksnakan.

3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.

4. Periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun.

(Abdul Halim,2002:16)

Dari beberapa pengertian tersebut jelas bahwa APBD haruslah disusun dengan baik dan dipertimbangkan dengan seksama dengan memperhatikan skala prioritas, dan dalam pelaksanaannya harus mengacu pada sasaran dengan cara yang berdaya guna dan berhasil guna.

2.3.2 Bentuk dan Susunan APBD

Proses penyusunan APBD merupakan suatu kegiatan yang utuh dan terpadu yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah pada setiap tahun anggaran. Peraturan-peraturan pemerintah mengenai keuangan daerah mengisyaratkan agar laporan keuangan makin informatif, APBD terdiri dari tiga bagian yaitu penerimaan, pengeluaran dan pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategoti baru yang belum ada pada APBD di era Pra reformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD makin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah, hal ini sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak Pemerintah Daerah, sedangkan pinjaman belum tentu menjadikan hak Pemerintahan Daerah. Selain itu dalam APBD mungkin terdapat surplus atau defisit. Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan defisit anggaran.

Struktur APBD menurut Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul “Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah” yang merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari:

a. Pendapatan.

b. Belanja.

c. Pembiayaan.

(Mardiasmo,2002:132)

2.3.2.1 Pendapatan Daerah

Pendapatan Daerah adalah semua penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurunan untung dari berbagai sumber dalam periode tahun anggaran bersangkutan. Secara umum pendapatan dalam APBD dikelompokkan yaitu:

  1. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis:

  1. Pajak Daerah

Pajak Daerah merupakan penerimaan yang berasal dari pajak. Penerimaan ini meliputi:

–          Pajak Hotel

–          Pajak Restoran

–          Pajak Hiburan

–          Pajak Reklame

–          Pajak Penerangan Jalan

–          Pajak Pengambilan Bahan Galian

–          Pajak Parkir

  1. Restribusi Daerah

Retribusi merupakan Penerimaan Daerah yang berasal dari retribusi daerah yang meliputi:

–          Retribusi Pelayanan Kesehatan

–          Retribusi Pelayanan Persampahan/Kesehatan

–          Retribusi Penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk (KTP)

–          Retribusi Penggantian biaya cetak Kartu Akte Catatan Sipil

–          Retribusi Pelayanan Pemakaman

–          Retribusi Pelayanan Pengubuan Mayat

–          Retribusi Parkir di tepi jalan umum

–          Retribusi Pelayanan Pasar

–          Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor

–          Retribusi Pemeriksaan alat pemadam kendaraan

–          Retribusi Izin pemanfaatan hutan

–          Retribusi Izin pengujian kapal perikanan

–          Retribusi Jasa usaha pemakaian kekayaan daerah

–          Retribusi Pasar grosir dan atau pertokoan

–          Dan lain-lain

  1. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Meliputi:

–          Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah

–          Bagian Laba Lembaga Keuangan Bank

–          Bagian Laba Lembaga Keuangan Non Bank

–          Bagian Laba atas penyetoran modal/investasi kepada pihak ketiga

  1. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah

Meliputi:

–          Hasil Penjualan Asset Daerah yang tidak disipisahkan

–          Penerimaan Jasa Giro

–          Penerimaan Dinas Pertaniaan Tanaman Pangan

–          Penerimaan lainnya

–          Penerimaan Bunga Deposito

–          Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan

–          Penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah (TP/TGR)

  1. Dana Perimbangan

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daearah untuk membiayai kebutuhan daerah

    1. Bagi Hasil

Bagi Hasil Pajak, yang terdiri dari:

–                      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

–                      Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

–                      Pajak penghasilan orang pribadi (PPh21)

Bagi Hasil Bukan Pajak/SDA,terdiri dari:

–                      Iuran Hak Pengusaha Hutan (IHPH)

–                      Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)

–                      Iuran Tetap/Landrent

–                      Iuran Eksplorasi

–                      Iuran Ejsploitasi (Royalty)

–                      Penerimaan pungutan pengusaha perikanan

–                      Penerimaan pungutan hasil perikanan

–                      Penerimaan dari sector minyak bumi

–                      Penerimaan dari sector pertambangan gas alam

    1. Dana alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Adapun ketentuan Dana Alokasi Umum di dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemeirntah Pusat dan Daerah adalah sebagai berikut:

–          Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. (Pasal 7 : 1)

–          Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10 % dan 90 %. (Pasal 7:2)

    1. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana Alokasi Khusus adalah yang berasal dari APBN yang dialokasikan pada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Adapun pembagiannya adalah 40 % dibagikan kepada Daerah penghasil sebagai Dana Alokasi Khusus. 60 % untuk Pemerintah Pusat. (Pasal 8 : 4)

    1. Bagi Hasil Pajak dan Bantuan Keuangan dari Propinsi.
  1. Lain–lain Pendapatan Yang Sah
    1. Bantuan Dana Kontinjensi/Penyeimbangan dari Pemerintah
    2. Dana Darurat

2.3.2.2 Belanja Daerah

Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada satu periode anggaran Secara umum belanja dalam APBD dikelompokan menjadi empat, yaitu:

  1. Belanja aparatur Daerah.
    1. Belanja Administrasi Umum

Yaitu semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau pelayanan public. Belanja ini dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

  1. Belanja Pegawai.

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk orang/personil yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai. Belanja Pegawai meliputi:

-. Biaya Gaji Tunjangan.

– Biaya Perawatan dan Pengobatan.

– Biaya pengembangan Sumber Daya Manusia.

  1. Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk menyediakan baran dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan public. Biaya barang/jasa meliputi biaya barang habis pakai, biaya jasa kantor, biaya cetak dan penggandaan, biaya langsung, biaya pakaian dinas.
  2. Belanja Perjalanan Dinas.

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk biaya perjalanan pegawai dan dewan yang berhubungan secara langsung dengan pelayanan public yang terdiri dari:

–          Biaya perjalanan Dinas.

–          Biaya Perjalanan Pindahan.

–          Biaya Pemungutan pegawai yang gugur.

  1. Belanja Pemeliharaan.

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk memelihara barang daerah yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Belanja ini terdiri dari:

–          Biaya Pemeliharaan gudang kantor.

–          Biaya Pemeliharaan rumah dinas dan asrama.

–          Biaya Pemeliharaan meubel air.

–          Biaya Pemeliharaan peralatan kantor.

–          Biaya Pemeliharaan emplacement kantor.

  1. Belanja Operasi dan Pemeliharaan.

Merupakan semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. Belanja ini dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu:

  1. Belanja Pegawai

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan aktivitas dengan kata lain merupakan belanja pegawai yang bersifat variable, meliputi: honorarium, upah lembur, upah uang paket dan insentif.

  1. Belanja Barang dan Jasa.

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan pelayanan publik, meliputi biaya sewa, biaya bahan percontohan.

  1. Belanja Perjalanan Dinas.

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk biaya perjalanan pegawai yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Biaya ini antara lain meliputi biaya perjalanan dinas dalam daerah dan biaya perjalanan dinas luar daerah.

  1. Belanja Pemeliharaan.

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang mempunyai hubungan langsung dengan pelayanan publik. Terdiri dari biaya pemeliharaan gedung pelayanan umum,  biaya  pemeliharaan jalan dan jembatan, pemeliharaan kendaraan, pemeliharaan peralatan operasional, pemeliharaan  sungai dan saluran/kanal, pemeliharaan museum, pemeliharaan terminal, dan pemeliharaan emplacement.

  1. Belanja Modal.

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan. Belanja Modal dibagi menjadi :

  1. Belanja Modal Publik.
  2. Belanja Modal Aparatur.

2.  Belanja Pelayanan Publik.

  1. Belanja Administrasi Umum

Yaitu semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau pelayanan publik. Belanja ini dikelompokan menjadi empat, yaitu:

  1. Belanja Pegawai

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk orang/personil yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai.

  1. Belanja Barang dan Jasa.

Merupakan pengeluaran Penerintah Daerah untuk penyediaan barang dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik.

  1. Belanja Perjalanan Dinas

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk biaya perjalanan pegawai dan dewan yang berhubungan secara langsung dengan pelayanan public.

  1. Belanja Pemeliharaan.

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan public.

  1. Belanja Operasional dan Pemeliharaan

Merupakan semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan public.

  1. Belanja Pegawai

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan aktivitas dengan kata lain merupakan belanja pegawai yang bersifat variabel.

  1. Belanja Barang dan Jasa

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk penyediaan barang dan jasa yang berhubungan dengan pelayanan public.

  1. Belanja Perjalanan Dinas

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk biaya perjalanan pegawai yang berhubungan langsung dengan pelayanan public.

  1. Belanja Pemeliharaan

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang mempunyai hubungan langsung dengan pelayanan publik.

  1. Belanja Modal

Merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah belanja yang bersifat aparatur.

3.Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan.

Merupakan pengalihan uang dari Pemerintah Daerah kepada pihak ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan maupun keuntungan dari pengalihan uang tersebut.

  1. Bantuan.
  2. Dana Perimbangan.
  3. Pembayaran Bunga Pinjaman.
  4. Dana Cadangan.

Adalah pengeluaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian di luar biasa.

2.3.2.3 Pembiayaan

Menurut Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pengertian dari Anggaran Pembiayaan adalah sebagai berikut:

“Pembiayaan adalah transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutupi selisih antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah”.

Anggaran pembiayaan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Peraturan Daerah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, bahwa dalam pelaksanaannya anggaran pembiayaan tersebut dapat dilaksanakan bila terjadi defisit maupun surplus sebagai akibat adanya selisih antara Anggaran Pendapatan dan Anggaran Belanja.

Menurut Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul “Otonomi dan manajemen Keuangan Daerah” bahwa Pembiayaan dapat berupa:

a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu;

b. Pinjaman daerah;

c. Penjualan asset daerah yang dipisahkan;

d. Dana Cadangan;

e. Penyertaan Modal.

(Mardiasmo,2002:164)

Adapun perjelasannya adalah sebagai berikut:

  1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu.

Sisa lebih perhitungan tahun lalu menjadi bagian dari anggaran pembiayaan yang dapat menyeimbangkan baik defisit maupun surplus anggaran, dan atau dapat digunakan sebagai dana awal pembiayaan belanja.

  1. Pinjaman Daerah.

Pinjaman atau Utang adalah kewajiban Pemerintah Daerah masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu. Penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya pemerintah dengan mengandung manfaat ekonomi.

  1. Penjualan Asset Daerah Yang Dipisahkan.

Maksudnya yaitu perjualan atas asset atau kekayaan daerah yang dipisahkan.

  1. Dana Cadangan.

Dana Cadangan adlah dana yang dianggarkan Pemerintah untuk membiayai kebutuhan dana yang tidak dapat dibebankan dalam suatu tahun anggaran dan dana cadangan hanya disediakan dari pelampauan target penerimaan pada hasil perhitungan APBD.

  1. Penyertaan Modal.

2.3.3 Siklus APBD

Siklus atau garis APBD merupakan suatu proses mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Siklus/Alur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 adalah sebagai berikut :

PENYUSUNAN APBD
Bagian Pertama
Arah, Kebijakan Umum, Strategi dan Prioritas APBD
Pasal 17

  1. Dalam rangka menyiapkan Rancangan APBD, Pemerintah Daerah bersama-sama DPRD menyusun Arah dan Kebijakan Umum APBD.
  2. Dalam menyusun Arah dan Kebijakan Umum APBD sebagaimana.dimaksud pada Ayat (1), diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada Rencana Strategis Daerah dan/atau dokumen perencanaan daerah lainnya yang ditetapkan Daerah, serta pokok – pokok kebijakan nasional di bidang keuangan daerah oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 18

  1. Berdasarkan Arah dan Kebijakan Umum APBD sebagaimana dimaksud dalam, Pasal 17 Ayat (1), Kepala Daerah menyusun Strategi dan Prioritas APBD.

Bagian Kedua
Usulan Program, Kegiatan dan Anggaran
Pasal 19

  1. Arah dan Kebijakan Umum APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Ayat (1) serta Strategi dan Prioritas APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Daerah sebagai pedoman bagi perangkat Daerah dalam menyusun Usulan Program, Kegiatan dan Anggaran.
  2. Usulan Program, Kegiatan dan Anggaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disusun berdasarkan prinsip-prinsip anggaran kinerja.

Pasal 20

  1. Usulan Program, Kegiatan dan Anggaran – setiap Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1) dituangkan dalam Rencana Anggaran Satuan Kerja.
  2. Rencana Anggaran Satuan Kerja sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) disampaikan kepada disampaikan kepada satuan kerja yang bertanggungjawab menyusun anggaran untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan APBD dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan keuangan Daerah.
  3. Tata cara pembahasan Rencana Anggaran Satuan Kerja ditetapkan oleh Kepala Daerah.
  4. Hasil pembahasan Rencana Anggaran Satuan Kerja sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dituangkan dalam Rancangan APBD.

Bagian Ketiga
Dokumen Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
Pasal 21

  1. Dokumen Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD terdiri dari Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan lampiran-lampirannya.
  2. Lampiran Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) terdiri dari:
    a. Ringkasan APBD;
    b. Rincian APBD;
    c. Daftar Rekapitulasi APBD berdasarkan Bidang Pemerintahan dan Perangkat Daerah;
    d. Daftar Jumlah Pegawai per Golongan dan per Jabatan;
    e. Daftar Piutang Daerah;
    f. Daftar Pinjaman Daerah.
    g. Daftar Investasi (Penyertaan Modal) Daerah;
    h. Daftar Ringkasan Nilai Aktiva Tetap Daerah;
    i. Daftar Dana Cadangan;
  3. Rincian APBD sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) huruf b memuat uraian Bagian Kelompok, Jenis sampai dengan Objek Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan untuk setiap satuan kerja perangkat daerah.

Bagian Keempat
Penetapan APBD
Pasal 22

  1. Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD beserta lampirannya disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk dimintakan persetujuan.
  2. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disertai dengan Nota Keuangan.
  3. DPRD menetapkan agenda Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (I).
  4. Sebelum Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibahas, DPRD mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan.
  5. Masukan dari masyarakat atas Rancangan Peraturan Daerah didokumentasikan dan dilampirkan pada Peraturan Daerah tentang APBD.

Pasal 23

Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disetujui oleh DPRD, disahkan oleh Kepala Daerah menjadi Peraturan Daerah tentang APBD paling lambat satu bulan setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan

Pasal 24

  1. Peraturan Daerah tentang APBD ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD.
  2. Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disusun menurut Kelompok, Jenis, Objek, Rincian Objek Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan.

Pasal 25

  1. Berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD, Kepala Daerah menetapkan Rencana Anggaran satuan kerja menjadi Dokumen Anggaran Satuan Kerja.
  2. Dokumen Anggaran Satuan Kerja sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) memuat Pendapatan dan Belanja setiap Perangkat Daerah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh Pengguna Anggaran.
  3. Penetapan Dokumen Anggaran Satuan Kerja paling larnbat satu bulan setelah Peraturan Daerah tentang APBD ditetapkan.

2.4. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2.4.1 Prosedur  Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Daerah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pengertian dari Pendapatan Daerah adalah sebagai berikut:

“Pendapatan Daerah adalah semua kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah”.

Adapun tahapan pemungutan sumber-sumber pendapatan menurut Indra Bastian dalam bukunya “Manual Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah” (2001:63) adalah sebagai berikut:

2.4.1.1 Pelimpahan Wewenang dalam Pelaksanaan Pemungutan atau Penerimaan

Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 pasal 86 (6) disebutkan bahwa pedoman tentang pengurusan dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan APBD, ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengenai pengurusan dalam buku “Manual Akuntansi Keuangan Pemerintahan Daerah”, oleh Indra Bastian (2001:58) dikatakan bahwa pada dasarnya dalam bidang pendapatan daerah tersebut pula pengurusan administrasi yaitu berupa otorisator dan ordonator, serta pengurusan pemegangan kas (pengurusan khusus).

1. Kewenangan otorisator

Kewenagan/pengurusan otorisator menimbulkan adanya hak tagih terhadap wajib pajak/wajib bayar, mengawasi dan mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin dipungutnya pendapatan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Kewenangan Ordonator

Kewenangan/pengurusan Ordonator meliputi pembebanan dan menagih untuk jumlah, jumlah yang telah ditetapkan menjadi hak daerah biaya oleh yang bersangkutan.

3. Pengurusan Pemegang Kas

Pengurus Pemegang Kas di bidang Pendapatan Daerah adalah sebagai berikut:

  1. Kewajiban pemegang Kas Daerah adalam menerima dan menyimpan setoran dari wajib pajak/wajib pbayar, pemegang kas khusus penerima dan petugas pemungutan, sebagai Penerimaan Daerah.
  2. Kewajiban Pemegang Kas Khusus adalah menerima, menyimpan dan menyetorkan penerimaan daerah kepada pemegang kas daerah.

Pelaksanaan pemungutan/penerimaan terdiri dari pemungutan pajak, retribusi dan pemungutan atas penerimaan selain pajak dan ritrubusi. Pemungutan Pajak Daerah dilaksanakan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Pajak (Penning) dan Surat Ketetapan/Surat Kuasa untuk menyetorkan. Pelaksanaan pemungutan/penerimaan retribusi daerah dilaksanakan menggunakan karcis/tanda bukti pembayaran retribusi kartu dan surat ketetapan. Pungutan retribusi daerah dengan karcus. Pemungutan atas penerimaan selain pajak dan retribusi, pemegang kas khusus penerimaan/petugas pemungutan menerima pembayaran dengan memberikan tanda bukti penerimaan kepada wajib bayar.

Dalam rangka pelaksanaan penerimaan pada umumnya dan pengurusan keuangan pada  khususnya harus dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna, maka penyelenggaraan fungsi-fungsi pengurusan pendapatan daerah tersebut, Kepala Daerah dibantu oleh Aparat Pelaksana Pendapatan Daerah tanpa mengurangi kewenangan dan tanggung jawab Kelapa Daerah.

Adapun Aparat Pelaksana serta kegiatannya masing-masing di bidang pendapatan daerah adalah sebagai berikut:

  1. Dinas Pendapatan Daerah melaksanakan pungutan atau penerimaan terhadap seluruh pajak daerah, retribusi daerah, sewa rumah daerah yang tidak melalui pemotongan dalam SPMU dan lain-lain, dan pendapatan daerah lainnya yang tidak diurus oleh instansi lainnya.
  2. BAKD mengurus antara lain: Penerimaan subsidi perimbangan keuangan dan sumbangan dari pihak ketiga, iuran wajib, segala sesuatu yang melalui pemotongan dalam SPMU.
  3. Dinas/Unit satuan kerja lainnya melaksnakan pungutan yang tidak termasuk kewenangan DIPENDA dan Biro/Bagian Keuangan.

2.4.1.2 Pencatatan/Pembukaan Pendapatan Daerah

Pada pemungutan pajak pembukaan diselenggarakan berdasarkan spesifikasi penerimaan pembayaran-pembayaran sesuai dengan jenis pajak dan tahun pajak termasuk denda keterlambatan pembayaran. Sedangkan pada retribusi, hasil penerimaan retribusi dibukukan dalam buku penerimaan kas.Pada Pembukuan selain pajak dan retribusi tanda bukti penerimaan dibukukan dalam buku penerimaan.

2.4.1.3 Penyetoran ke Kas Daerah.

Petugas pemungutan pembayaran atas pungutan pajak, retribusi daerah dan penerimaan selain pajak dan retribusi, setiap hari harus menyetor seluruh penerimaan kepada pemegang kas khusus Penerimaan Dinas Pendapatan Daerah untuk disetorkan lagi ke Kas Daerah sesuai waktu yang telah ditentukan oleh Kepala Daerah.

2.4.1.4 Pertanggungjawaban dan Pelaporan

Pemegang Kas Khusus Penerimaan berkewajiban membuat daftar pertanggungjawaban dengan lebih dulu diketahui oleh atasan langsung selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya menyampaikan kepada Kepala Daerah dengan melampirkan tanda bukti penerimaan dan surat tanda setoran.

2.4.2 Prosedur Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pengertian dari Belanja Daerah adalah sebagai berikut :

“Belanja Daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi badan daerah”.

Menurut Indra Bastian dalam bukunya yang berjudul “Manual Akuntansi Keuangan Daerah” dikatakan bahwa :

“Sesuatu anggaran yang telah direncanakan dengan baik, hendaknya disertai dengan pelaksanaannya yang tertib dan disiplin, sehingga tujuan atau sasaran dapat dicapai secara berdaya guna dan berhasil guna”. ( Indra Bastian:70-71)

Pelaksanaan Anggran Belanja Daerah menganut sistem pengurusan yang sama dengan sistem pengurusan keuangan negara yang pada pokoknya adalah:

  1. Pengurusan administrasi.

Yaitu wewenang untuk mengadakan tindakan-tindakan dalam rangka penyelenggaraan rumah tangga Daerah yang membawa akibat pengeluaran-pengeluaran yang membebani Anggaran Daerah. Pengurusan ini terdiri dari tindakan otorisator (penandatanganan SKO) dan tindakan ordonator (penandatanganan SPMU).

  1. Pengurusan ke Pemegang Kas.

Yaitu wewenang untuk menerima, menyimpan, membayar atau mengeluarkan uang dan barang, serta bekewajiban mempertanggungjawabkan kepada Kepala Daerah. Pengurusan ini dilaksanakan oleh Pemegang Kas Daerah dan Pemegang Kas.

2.4.2.1 Pelimpahan Wewenang untuk Menandatangani SKO dan SPMU

Menurut Indra Bastian dalam bukunya “Manual Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah” (2001:72), mengemukakan bahwa Dasar Pelimpahan Wewenang adalah Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1975 untuk menandatangani SKO dan SPMU diuraikan lebih lanjut dalam batasan Pelimpahan Wewenang :

a. “Penunjukan Penandatangannan SKO.

1. Penandatanganan minut dan asli SKO:

Untuk Propinsi dibatasi sampai dengan asisten I Sekertaris Wilayah Daerah, Untuk Kabupaten/Kotamadya dibatasi sampai dengan Sekertaris Wilayah Daerah Tingkat II.

2. Penandatanganan SKO tembusan ((kutipan) untuk Propinsi sampai dengan Kepala Biro Keuangan, sedangkan untuk Kabupaten/Kotamadya sampai dengan Kepala BAKD. Sepanjang pejabat yang bersangkutan tidak ditujuk menandatangani SPMU.

b. Petunjukkan Penandatanganan SPMU:

    1. Untuk Propinsi dilimpahkan kepada Kepala Biro Keuangan, Kepala Bagian Pemegang Kas dan Kepala Sub Bagian pada Bagian Pembendaharaan.
    2. Untuk Kabupaten/Kotamadya dilimpahkan kepada Kepala BAKD sampai dengan Kepala Urusan pada Sub Bagian Pemegang Kas. Dalam Pelimpahan wewenang ini hendaknya diperhatikan larangan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelaksanaan APBD.

c. Penyerahan Tugas-tugas Pemegang Kas :

    1. Untuk Tugas Pemegang Kas Daerah (Pemegang Kas Umum) dapat menunjukan Bank Pembangunan Daerah. Apabila di Kabupaten/Kotamadya tidak terdapat Bank Pembangunan Daerah, dapat ditunjuk Bank Pemerintah Lainnya.
    2. Untuk Penunjukan Pemegang Kas Khusus baik di bidang penerimaan maupun pengeluaran Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang berlaku dan penetapan atasan langsung/pimpinan proyek. Persyaratan untuk ditunjuk jadi Bendaharawan serendah-rendahnya menduduki II dan paling tinggi golongan III PGPS 1968 dan telah memiliki ijazah Pemegang Kas”.

2.4.2.2 Penerbitan SKO

Surat Keputusan Otorisasi (SKO) merupakan bukti tindakan Kepala Daerah yang dapat mengakibatkan pembebanan pada Anggaran Belanja Daerah.

Dasar Penerbitan SKO adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan oleh Penerimaan Daerah dan disahkan oleh Pejabat yang berwenang, serta DASK yang telah disyahkan oleh Kepala Daerah.

Adapun fungsi SKO adalah menyediakan kredit, pengendalian dan pengawasan kredit. Dalam Berimbang yang dinamis, maka terlebih dahulu disusun pola triwulan sepanjang tahun. Yangn merupakan bahan dasar untuk penyusunan Anggaran Kas dan untuk dasar penyusunan DASK.

2.4.2.3 Pengajuan SPP

Surat Permintaan Pembayaran (SPP) diajukan oleh Pemegang Kas dan ditandatangani oleh atasan langsung Pemegang Kas dan sudah dilengkapi dengan persyaratannya kepada Kepala Daerah, Kepala BAKD dan dibuat berdasarkan DASK yang telah disahkan.

Dasar pengajuan SPP adalah DASK dan SKO yang telah disakan oleh Kepala Daerah. Yng berwenang untuk mengajukan SPP  adalah Pemegang Kas yang telah ditunjuk dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. SPP ditandatangani oleh Pemegang Kas dan diketahui atasan langsung/pimpinan proyek.

2.4.2.4 Penerbitan SPMU

Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) merupakan kertas berharga dan harus memenuhi persyaratan tertentu yang berlaku guna melakukan pembayaran.

Persyaratan tersebut antara lain (Indra Bastian, 2001:79):

a. Bersihkan kata-kata Pemerintah membayarkan.

b. Jumlah uang yang harus dibayarkan dinyatakan dalah huruf dan angka.

c. Harus (dinyatakan) dengan tegas siapa yang berhak menerima pembayaran sejumlah uang yang tertera pada SPMU.

d. Dibebankan pada pasal dan ayat dalam APBD

e. Harus ditandatangani oleh Pejabat yang menerima pelimpahan wewenang ordonator itu sendiri dari Kepala Daerah.

f. Uraian singkat tentang pembayaran itu dilakukan.

g. Tanggal, bulan dan tahun pembayaran/pembuatan SPMU dan nomor SPMU.

h. Pembuatan SPMU harus tidak ada kesalahan. Apabila terdapat coretan atau perubahan atas SPMU, maka diberikan tanda pengesahan disampingnya, dan jika mengenai tulisan jumlah uang yang akan dibayarkan harus diparaf dan disahkan oleh Pejabat  yang berwenang   untuk menandatangani. Penghapusan atau tindakan tulisan  tidak diperkenankan dalam SPMU.

2.4.2.5 Surat Pertanggungjawaban (SPJ)

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, telah ditentukan bahwa pertanggungjawaban bagi mereka melaksanakan pengurusan keuangan daerah dilakukan dengan jalan memberikan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) atau membuat perhitungan anggaran, bagi para pelaksana pengelolaan keuangan daerah dalam hal ini digolongkan ke dalam mereka yang melakukan pengurusan pemegang kas. Berdasarkan SPJ secara keseluruhan, Verifikatur membuat catatan-catatan yang dituangkan dalam catatan hasil pemeriksaan.

2.5 Peranan Pengawasan Fungsional terhadap Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang, perlu diadakan Pengawasan Fungsional terhadap jalannya pekerjaan-pekerjaan. Pengawasan Fungsional merupakan suatu usaha untuk menjaga agar suatu kegiatan dari tugas Pemerintah baik rutin maupun  pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Dengan adanya Pengawasan Fungsional, diharapkan dapat memberikan timbulnya hambatan-hambatan, sedangkan hambatan-hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan-tindakan perbaikannya.

Di Pemerintahan Daerah terjadi perubahan yang cukup mendasar atas kedudukan aparat di lingkungan pemerintah, khususnya di lingkungan aparat pengawasan fungsional dikarenakan adanya reformasi di tubuh Pemerintah. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pengawasan di Daerah diserahkan sepenuhnya kepada Aparat Pengawasan Daerah dengan nama Badan Pengawasan Daerah (BAWASDA) Pemerintah Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada umumnya dituangkan dalam bentuk kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Kebijakan inilah yang oleh Badan Pengawasan Daerah dituangkan dalam bentuk Program Kerja Pengawasan. Yang akan menjadi alat Bantu bagi Bawasda untuk mencapai hasil pengawasan yang efektif.

Agar tercapai koordinasi dan tidak terjadi tumpang tindih Pelaksanaan Pengawasan Fungsional, disusun Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) oleh Bawasda berdasarkan Usulan Program Kerja Pengawasan Tahunan yang diajukan oleh seluruh Aparat Pengawasan Fungsional di Daerah. PKPT ini merupakan rencana kerja seluruh Aparat Pengawasan fungsional Pemerintah yang menurut objek pemeriksaan, waktu pemeriksaan dan aparat yang melakukannya.

Sasaran Pengawasan Fungsional pada aparatur Pemerintahan mempunyai ruang lingkup kegiatan pengawasan yang dipokuskan dapa pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian terhadap fungsi yang telah ditetapkan. Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pengawasan fungsional mutlak dilaksanakan, sehingga keefiktifan, keefisienan, dan keekonomisan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dapat dicapai.

Peranan penyelenggaraan Pengawasan Fungsional dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diperlukan untuk meningkatkan dan mencapai sasaran-sasaran yang telah direncanakan, sehingga dapat mencapai pembangunan yang adil dan merata secara peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat.

Daftar Pustaka

Abdul Halim, (2004), Manajemen Keuangan Daerah, ed Revisi, (UUP) AMP YKPN, Yogyakarta.

Abdul Halim, (2002), Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah, ed Pertama, Salemba Empat, Jakarta

Baldric Siregar dan Bonni Siregar (2000) Akuntansi Pemerintahan dengan Sistem Dana, BPFE, Yogyakarta.

Indra Bastian, (2001), Manual Akuntansi keuangan pemerintah Daerah, ed Pertama, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta.

Mardiasmo, (2002), Akuntansi Sektor Publik, ed. Pertama, Cetakan Pertama, ANDI, Yogyakarta.

Mardiasmo, (2002), Otonomi & Manajeman Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta.

Revrisond Baswir. (1999), Akuntansi Pemerintahan Indonesia, Yogyakarta.

Sujamto (1996) Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia.

———  (1986) Beberapa Pengertian di bidang Pengawasan

Propinsi Jawa Barat (2002),  Pedoman Operasional Audit Reguler Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Propinsi Jawa Barat

———–,  (2002) Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 70 Tahun 2002 tentang Pedoman Operasional Audit Badan Pengawasan Daerah Propinsi Jawa Barat

—————-, Daftar Materi Audit, 2003.

Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah

Keputusan Presiden No.74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggraan Pemerintah Daerah

Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

2 Tanggapan to “PENGAWASAN”

  1. Princess Lydia Says:

    terimakasih!
    finally…i’ve found the answer of my lecture’s task!
    tapi ada yg kurang….
    ga ada contoh-contoh dari tiap poin.
    misal contoh pengawasan fungsional implementasinya seperti apa?

Tinggalkan Balasan ke intanghina Batalkan balasan